Pernyataan Al-Qur’an
ini sangat jelas, bahwa kesesatan yang dialami manusia merupakan ‘hasil kerja’
Allah sendiri yang memang mengehendaki manusia tersebut tersesat, dan ketika
Dia sudah menyesatkan manusia, maka tidak ada kekuasaan apapun yang mampu
memberikan pertunjuk agar manusia tersebut bisa diselamatkan. Menanggapi soal
ini, biasanya non-Muslim akan langsung bereaksi :”Tuhan seperti apa yang telah
membuat manusia tersesat..??”, lalu mulai ‘berpromosi’ untuk mengajukan
alternatif konsep ketuhanan mereka dengan menyatakan :”Tuhan kami Maha Kasih,
Dia selalu mengharapkan agar manusia yang tersesat untuk kembali, bahkan Dia
mau mengorbankan diri untuk itu. Tuhan yang benar adalah Tuhan yang
menyelamatkan ketika tahu ada manusia yang tersesat, bukan malah mempergunakan
kekuasaan dan kehendak-Nya untuk menyesatkan manusia..”.
Sampai disini
logikanya terkesan benar, namun terbentur kepada satu pertanyaan :”Kalau bukan
atas dasar kehendak dan kuasa Tuhan, lalu atas kuasa siapa seseorang bisa
menjadi tersesat..?? atas kehendak siapa seorang manusia bisa tersesat..??
Apakah ada kekuasaan dan kehendak diluar kuasa dan kehendak Tuhan yang
mempunyai kemampuan untuk itu..??”.
Kalau dikatakan
kesesatan seseorang diakibatkan oleh kehendaknya dan kuasanya sendiri, maka ini
bertentangan dengan fakta, bahwa bisa terjadi seseorang yang telah berusaha
untuk menyesatkan dirinya namun atas kuasa dan kehendak Allah, dia tetap tidak
akan tersesat. Kalau dikatakan kesesatan manusia tersebut merupakan kehendak
dan kuasa syaitan dan Iblis, maka apabila Tuhan berkehendak agar manusia
tersebut tidak tersesat, kuasa dan kehendak syaitan dan Iblis tidak akan bisa
direalisasikan. Ini adalah pikiran yang masuk akal dan terjadi dalam kehidupan
sehari-hari.
Pernyataan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang menginginkan hamba-Nya untuk selamat dan tidak tersesat, itu sebenarnya juga ada dalam konsep Islam, bahwa Allah selalu menanti hamba-hamba-Nya agar kembali kepada-Nya :
Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. (Hud: 90)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.. (At-Tahrim: 8)
Melalui Al-Qur’an, Allah menyuruh agar manusia mau kembali kepada-Nya, menyelamatkan diri dari kesesatan yang selama ini dijalani. Allah menyatakan diri-Nya sangat terbuka untuk menerima taubat. Bahkan dalam hadits qudsi dikatakan :
“Wahai anak Adam selama engkau masih berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau apa pun yang datang darimu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam walaupun dosa-dosamu mencapai batas langit kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan sepenuh bumi dosa dan engkau tidak menyekutukan-Ku, maka Aku akan menemuimu dengan sepenuh itu pula ampunan.” (HR. Tirmidzi)
Islam mengajarkan bahwa
kehendak dan kuasa Allah dalam konteks kesesatan manusia berbeda dengan
keinginan Allah. Keinginan Allah datang dari diri-Nya sendiri, bahwa Dia
menginginkan semua manusia selamat dan tidak tersesat, bahkan Dia menyatakan
diri-Nya sangat berharap dan terbuka untuk menerima hamba-hamba yang ingin
kembali, menghapus dosa mereka dan tidak mengingat-ingat lagi kemaksiatan yang
pernah dilakukan.
Sedangkan kuasa dan
kehendak-Nya selalu berdasarkan ‘input’ yang
datang dari manusia itu sendiri. Kalau kita simak ayat-ayat Al-Qur’an tentang
pernyataan ‘Allah menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya’, maka ini selalu
merupakan ‘muara’ dari suatu kalimat panjang yang sebelum atau sesudahnya
menyatakan kondisi manusia yang telah ‘menyediakan diri’ untuk disesatkan
Allah.
Kemudian muncul pertanyaan
lanjutan :”Lalu bagaimana fungsi dan peranan Iblis dan syaitan dalam kesesatan
manusia..??”. Menarik apa yang disampaikan secara terang-benderang dalam Al-Qur’an.
Pertama, jelas dinyatakan
bahwa Iblis tersesat karena memang atas keputusan dari Allah, artinya juga
otomatis berdasarkan kekuasaan, kehendak dan ijin Allah, sama seperti apa yang
disampaikan Allah kepada manusia, keputusan Allah tersebut merupakan akibat
dari perbuatan Iblis sendiri yang telah membangkang perintah Allah karena
kesombongannya.
Ternyata disini Iblis sama
sekali tidak menyalahkan Allah, tidak ada suatu pernyataan Iblis : “Saya khan
tidak punya kuasa apa-apa, jadi kalau saya telah berbuat kesesatan itu memang
karena Engkau telah menciptakan saya punya potensi untuk berbuat demikian, saya
tersesat bukan atas kehendak saya sendiri”, Iblis ternyata lebih cerdas dari
kebanyakan manusia dan memahami bahwa kebebasan untuk memilih yang ditanamkan
Allah dalam dirinya mengakibatkan konsekuensi dari pilihan tersebut akan
ditanggung sendiri.
Kedua, jelas dinyatakan bahwa sekalipun Iblis diberi
ijin untuk menyesatkan manusia, namun IBLIS TIDAK DIBERIKAN KEKUASAAN UNTUK
MENYESATKAN MANUSIA, dalam arti kesesatan yang terjadi bukan didasari kuasa,
kehendak atau ijin Iblis, tapi merupakan sesuatu yang datang dari Allah. Iblis
atau syaitan hanya berperan untuk mempengaruhi dan mendorong agar manusia
melakukan perbuatan yang kemudian mendasari keputusan Allah untuk menyesatkan
manusia tersebut.
Kalau kemudian dilemparkan
‘tuduhan’ : “apakah ini artinya Allah ‘bekerjasama’ dengan Iblis untuk
menyesatkan manusia…??” maka ini dibantah oleh ayat Al-Qur’an yang lain,
menyatakan bahwa dalam diri manusia diberikan dasar-dasar kehendak bebas dan
manusia itu sendirilah yang menentukan pilihan mana yang mesti ditetapkannya :
..maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya. (ash-Shams 8)
Lalu dilengkapi pernyataan
bahwa Allah akan melindungi manusia dari godaan Iblis atau syaitan :
Dan jika kamu ditimpa sesuatu
godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-A’raaf 200)
Dan katakanlah: “Ya Tuhanku
aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. (al-Mu’minuun 97)
Dan jika syaitan mengganggumu
dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fussilat
36)
Konsep Islam tentang posisi
Allah dalam keselamatan dan kesesatan kita menciptakan suatu pikiran : TIDAK
ADA JALAN LAIN BAGI MANUSIA UNTUK MENDAPATKAN KESELAMATAN DAN TERHINDAR DARI
KESESATAN KECUALI HANYA MENYANDARKAN DIRI KEPADA ALLAH, dalam Al-Qur’an Allah
telah menyatakan melalui suatu ungkapan :
Dan barangsiapa yang
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada
Allah-lah kesudahan segala urusan. (Luqman 22)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar