Iklan Blogger

Rabu, 28 Februari 2018

KENAPA BUTUH IJTIHAD..?!?


Banyak orang bertanya mengapa kita masih butuh ijtihad, padahal sudah ada Al Qur’an dan Hadits, dimana selama kita berpegang teguh kepada keduanya, kita tidak akan sesat selamanya. Bahkan beberapa kaum kafir selalu menuduh kalau Al Qur’an dan Hadits masih belum sempurna, karena masih perlu penafsiran dan lain sebagainya.

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka ada beberapa jawaban yang dapat dikemukakan, antara lain :

1. HAKIKAT IJTIHAD

Ijtihad bukan tindakan untuk mengarang agama dan menyerahkan segala urusan agama semata-mata kepada logika dan akal manusia sambil meninggalkan Al Qur’an dan Hadits. Pemahaman ijtihad seperti ini tentu keliru besar.


Pada hakikatnya, yang namanya ijtihad itu justru 100% memegang teguh Al Qur’an dan Hadits. Dan tidaklah sebuah ijtihad itu dilakukan, kecuali landasannya karena justru kita ingin menarik kesimpulan hukum dari Al Qur’an dan Hadits.

Mungkin orang bertanya lagi, bukankah Al Qur’an dan Hadits itu sudah jelas sekali, mengapa masih perlu ada ijtihad?

Jawabnya begini, memang tidak salah kalau dikatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits itu sudah jelas, tetapi yang bisa dengan mudah membaca Al Qur’an dan Hadits dengan jelas itu hanya kalangan tertentu, yaitu hanya sebatas buat Rasulullah SAW dan para shahabat beliau yang tertentu saja. Sebab memang keduanya turun di masa mereka hidup.

Sementara begitu beliau SAW dan para shahabat wafat, dan Islam menyebar ke negeri jauh yang berbeda bahasa, budaya, adat, serta berbagai realitas sosial lainnya, maka mulai muncul berbagai jarak. Tidak semua pemeluk Islam paham bahasa Arab, bahkan tidak semua orang yang bermukim di Madinah ratusan tahun sepeninggal Rasulllah SAW merupakan orang-orang yang paham bahasa Arab.

Tidak usah jauh-jauh, sebagi contoh sederhana, ketika Rasulullah SAW menakar makanan yang beliau keluarkan untuk membayar zakat Al-Fithr, beliau menggunakan takaran yang disebut sha'. Sayangnya, orang-orang di Baghdad tidak mengenal benda yang namanya sha' tersebut. Maka para ulama di masa itu membuat sebuah penelitian, yang kira-kira memudahkan orang mengenal berapa sebenarnya ukuran satu sha' itu. Nah inilah yang disebut dengan ijtihad. Jelas sekali ijtihad itu justru dibutuhkan untuk memahami Al Qur’an dan Hadits, bukan mengarang-ngarang dan main logika semata.

2. PERINTAH UNTUK BERIJTIHAD

Jangan dikira tindakan berijihad itu sekedar sebuah ulah orang-orang kurang kerjaan yang niatnya mau menambah-nambahi agama. Justru berijtihad itu adalah sebuah ibadah yang diperintahkan oleh Al Qur’an dan Hadits. Kedua sumber hukum Islam itu tidak melarang berijtihad, justru sebaliknya, keduanya memerintahkan orang-orang yang memang punya keahlian untuk berijtihad.

Melakukan ijtihad adalah salah satu di antara sekian banyak perintah Allah dan Rasul-Nya kepada umat Islam, bukan semata-mata inisiatif dan keinginan hawa nafsu. Di dalam Al Qur’an Allah SWT memerintahkan manusia untuk menggunakan nalar, logika dan akalnya dalam memahami perintah-perintah Allah.

“Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az-Zumar : 42)

“Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berakal.” (QS. Ar-Ruum : 24)

3. IJTIHAD DILAKUKAN OLEH RASULULLAH SAW

Rasulullah SAW adalah seorang utusan Allah SWT. Beliau SAW secara umum memang menerima wahyu risalah dalam setiap kesempatan, sehingga menjadi rujukan dalam agama.

Namun kalau kita teliti detail-detail sirah nabawiyah, seringkali kita temui bahwa beliau terpaksa harus berijtihad, lantaran wahyu tidak turun, tepat pada saat dibutuhkan.

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali : "Insya Allah" . Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".” (QS. Al-Kahfi : 23-24)

Sebab turun ayat ini karena Rasulullah SAW menjanjikan untuk menjawab pertanyaan orang-orang yahudi besok hari. Namun jawaban wahyu yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Entah kemana Jibril yang biasanya rajin datang membawa wahyu. Ayat ini menegaskan bahwa ada kalanya begitu dibutuhkan, wahyu menjadi tidak turun.

Rasulullah SAW berijtihad dalam kasus perbedaan pendapat tentang menghentikan perang Badar atau meneruskannya hingga semua lawan mati, Rasulullah SAW menggelar syura’ dengan para shahabat, lantaran wahyu tidak kunjung turun. Beliau SAW meminta pandangan dari para shahabat, kemudian berijtihad untuk menghentikan perang dan menjadikan musuh sebagai tawanan.

Namun setelah itu ijtihad beliau SAW dianulir oleh turunnya wahyu, yang melarang beliau SAW menghentikan perang dan mengambil musuh sebagai tawanan.

“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal : 67)

4. IJTIHAD DILAKUKAN OLEH PARA SAHABAT

Ketika Rasulullah SAW masih hidup, banyak di antara para shahabat yang melakukan ijtihad, baik atas perintah beliau SAW atau pun atas inisiatif sendiri yang kemudian dibenarkan oleh beliau.

a. Muaz bin Jabal Diperintahkan Untuk Berijtihad

Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ketika Rasulullah SAW mengutusnya untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, telah diperintahkan atau setidaknya direkomendasikan untuk berijtihad.

Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya," Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah. (HR Abu Daud)

Apa yang menjadi tekad Muadz untuk berijtihad mendapatkan legitimasi langsung dari Rasulullah SAW, terbukti bahwa beliau SAW menepuk dada Muadz sambil memujinya.

b. Amr bin Al-Ash Dibenarkan Dalam Berijtihad

Amr bin Al-Ash telah melakukan ijtihad dalam hal-hal yang membolehkan seseorang bertayammum sebagai ganti dari wudhu', yaitu karena faktor cuaca yang amat dingin.

Dari Amru bin Al-’Ash radhiyallahuanhu bahwa ketika beliau diutus pada perang Dzatus Salasil berkata "Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya "Wahai Amr Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub ?". Aku menjawab "Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu] maka aku tayammum dan shalat". (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR. Ahmad Al-hakim Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).

Sepeninggal Rasulullah SAW pun para shahabat masih tetap melakukan ijtihad, dimana hasil ijtihad itu dibenarkan oleh seluruh shahabat yang lain dan terus berlangsung hingga sekarang ini.

c. Ijtihad Untuk Menulis Al Qur’an dalam Satu Mushaf

Selama masa kenabian 23 tahun lamanya, belum pernah sekalipun Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menuliskan Al Qur’an dalam satu mushaf. Namun sepeninggal beliau, masih di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu, umat Islam sepakat untuk menuliskan Al Qur’an dalam satu bundel mushaf.

Awalnya dari ide Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu yang disampaikan kepada khalifah, kemudian menjadi ijtihad jama'i hingga hari ini. Maka mushaf Al Qur’an yang kita kenal saat ini, tidak lain merupakan produk ijtihad para shahabat di masa lalu, yang tidak didasari oleh perintah wahyu secara langsung.

5. PERUBAHAN ZAMAN

Sudah menjadi sunnatullah bahwa zaman selalu mengalami perubahan. Apa yang berlaku di tengah masyarat untuk satu kurun waktu tertentu, bisa saja berubah pada kurun waktu yang lain.

Oleh karena itu Islam membutuhkan orang-orang yang mampu berijtihad dengan benar, agar perubahan zaman itu tidak lantas membuat nash-nash dari Al Qur’an dan Hadits menjadi usang dan tidak terpakai.

Salah satu contoh bagaimana perubahan zaman bisa berpengaruh pada perubahan ijtihad adalah kasus orang kaya yang wajib membayar zakat sebagaimana diwajibkan di dalam Al Qur’an dan Hadits.

Tetapi dalam kenyataannya terjadi perubahan siapakah yang dimaksud dengan orang kaya, antara zaman Rasulullah dengan orang kaya di masa sekarang ini. Di masa Rasulullah SAW, orang kaya itu identik dengan pedagang, peternak dan petani. Karena itulah kita menemukan syariat zakat yang berlaku buat mereka.

Tetapi di masa sekarang ini, Indonesia yang konon negara agraris dan kebanyakan rakyatnya berprofesi sebagai petani, ternyata mereka bukan orang kaya. Para petani di Indonesia rata-rata justru orang-orang miskin yang tidak punya. Biaya dan tenaga yang mereka keluarkan untuk bertani seringkali lebih besar dari hasil pertanian itu sendiri.

Maka harus ada garis batas yang lebih akurat dan tajam yang mampu membedakan antara petani kaya dan petani miskin. Yang wajib zakat itu bukan asal petani, tetapi petani kaya, dengan segala syarat dan ketentuan. Adapun orang miskin, meski pun profesinya petani, tentu tidak wajib bayar zakat.

Sebaliknya, di masa Nabi SAW sudah ada pegawai yang bekerja kepada tuannya dan menerima upah. Tapi rata-rata pegawai di masa itu upahnya sangat kecil, hanya bisa sekedar untuk menyambung hidup saja. Maka di masa Nabi SAW kita tidak menemukan perintah buat para pegawai untuk membayar zakat, karena di masa itu rata-rata pegawai itu miskin.

Tetapi di masa sekarang ini, rata-rata pegawai itu orang kaya, khususnya pegawai negeri sipil. Gaji mereka berlipat dan kebutuhan hidup mereka sudah terpenuhi, bahkan gaji mereka ada banyak sisa. Maka kalau pegawai di masa sekarang diwajibkan bersedekah, tentu sangat masuk akal.

6. SEMAKIN LUASNYA NEGERI ISLAM

Ijtihad sangat dibutuhkan mengingat wilayah negeri Islam sepeninggal Rasulullah SAW semakin meluas. Negeri yang penduduknya tidak mengerti bahasa Arab, tiba-tiba mereka memeluk agama Islam. Syam, Persia, Mesir dan Yaman di masa itu bukan bagian dari tanah Arab. Agama yang mereka anut di masa itu pun bukan agama Islam. Budaya dan adat istiadat yang berlaku di berbagai negeri itu nyaris 180 derajat berbeda dengan bangsa Arab. Makanan pokok mereka pun tidak sama dengan yang dimakan bangsa Arab.

Sementara agama Islam yang 100% turun di tanah Arab langsung kepada orang-orang dalam budaya Arab ini harus masuk ke berbagai negeri yang baru dan jauh dari pola budaya dan kehidupan bangsa Arab.

Maka secara logika sudah bisa kita bayangkan betapa nash-nash Al Qur’an dan Hadits harus berhadapan dengan realitas yang belum pernah ada sebelumnya di masa Rasulullah SAW.

7. KETERBATASAN SUMBER SYARIAH

Meski Al Qur’an adalah kitab yang lengkap dan tidak ada satupun masalah yang terlewat, namun bukan berarti Al Qur’an adalah sebuah ensikopedi umum yang memuat materi apa saja.

Kenyataannya bila dibandingkan dengan Ensiklopedi Britanica, jumlah ayat Al Qur’an terlalu sedikit, karena hanya berkisar 6.000-an ayat saja. Encyclopedia Britannica 2010 memuat artikel dan gambar hingga sekitar 100.000 item, dan tebalnya mencapai 32 jilid.

Tetapi sekali lagi adalah keliru kalau kelengkapan materi Al Qur’an itu kita bayangkan seperti kelengkapan sebuah ensiklopedi. Kelengkapan Al Qur’an itu maksudnya adalah bahwa Al Qur’an memasuki banyak ranah kehidupan, di luar dari yang biasanya dikenal orang, pada kitab-kitab suci terdahulu.

Al Qur’an bicara tentang banyak hal dalam kehidupan manusia, baik individu maupun sosial. Tetapi Al Qur’an bukan ensiklopedi yang membahas satu per satu tiap titik masalah.

Kalau memang Al Qur’an hanya bicara sekilas, lalu bagaimana cara manusia bisa memahami detail-detail ketentuan dan kemauan Allah SWT? Jawabnya adalah diutusnya Rasulullah SAW ke dunia sebagai penjelas dari Al Qur’an, sekaligus untuk menjadi contoh hidup dari Al Qur’an. Persis seperti komentar istri beliau SAW, Aisyah radhiyallahuanha, tatkala ditanya tentang akhlaq beliau SAW.

“Akhlaq beliau adalah Al Qur’an.”

Namun kalau dijumlah secara total, tetap saja jumlah hadits nabawi itu terbatas. Apalagi kalau kita batasi pada yang sudah dishahihkan secara paten dan disepakati oleh para ulama hadits.

Imam Al-Bukhari hanya menyelesaikan 7 ribuan hadits di dalam kitab Ash-Shahihnya, dengan pengulangan-pengulangan hadits berkali-kali pada beberapa bab. Konon, seandainya hadits-hadits itu tidak diulang-ulang, jumlahnya hanya sekitar 4 ribuan saja.

Sedangkan hadits-hadits yang telah dishahihkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih beliau juga terbatas pada sekitar 4 ribuan hadits, dengan ketentuan hadits-hadits itu tidak terulang-ulang dan telah disepakati keshahihannya oleh para ulama.

Kalau kita teliti, rupanya hadits yang telah tercantum di dalam Shahih Bukhari cukup banyak yang juga tercantum di dalam Shahih Muslim, sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa jumlah hadits shahih di dunia ini menjadi 8 ribu butir.

Tetapi juga tidak benar kalau kita katakan bahwa hadits yang shahih itu hanya terbatas pada kedua kitab Shahih itu saja. Tentu masih banyak lagi hadits-hadits yang shahih, meski tidak tercantum pada kedua kitab itu.

Akan tetapi meski demikian, tetap saja jumlah hadits-hadits yang sudah dishahihkan secara paten dan disepakati keshahihannya oleh para ulama memang terbatas. Kalau pun kita katakan ada 100 ribu hadits misalnya, maka jumlah itu tentu sangat kurang untuk bisa menjawab semua persoalan manusia sepanjang zaman, terhitung sejak masa Nabi SAW hidup hingga datangnya hari kiamat nanti.

Sebab persoalan hidup manusia selalu bermunculan, dimana mereka hidup di berbagai zaman dan peradaban yang juga berbeda-beda. Selalu muncul fenomena baru di tengah umat manusia.

Padahal ayat Al Qur’an sudah berhenti turun, dan hadits nabawi sudah tidak mungkin lagi bertambah. Lalu apakah cukup ayat dan hadits warisan itu untuk menjawab semua problematika hukum syariah yang ada?

Jawabnya tentu tidak cukup, kalau kita hanya berpikir sekilas.

8. LUASNYA BIDANG KEHIDUPAN

Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, barangkali belum sama sekali terbayang bahwa agama Islam akan tersebar ke luar batas-batas negeri Arab, bahkan menyeberangi benua dan lautan. Agama yang awalnya hanya dipeluk oleh beberapa gelintir orang di Mekkah, dalam rentang kurang dari seratus tahun kemudian menjadi agama nomor satu terbesar yang dipeluk berjuta umat manusia.

Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu memegang tongkat khilafah, Islam menyebar ke tiga imperium besar dunia, Romawi, Persia dan Mesir. Berbeda dengan keadaan Mekkah Madinah yang terletak di tengah gurun pasir jazirah Arabia, keadaan sosio kultural dan sosial politik di negeri-negeri itu jauh lebih berkembang, maju, dinamis dan penuh inovasi. Bidang kehidupan umat manusia pun semakin hari semakin luas dan dinamis. Sehingga teks-teks baku yang terdapat pada dua sumber agama tidak akan bisa menjawab secara langsung apa adanya semua masalah itu.

Sebenarnya tanda-tanda akan semakin dinamis dan jauhnya teks-teks Al Qur’an dan Hadits dari realitas kehidupan masyarakat dunia sudah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW sendiri. Ketika beliau SAW menguji shahabatnya saat diutus ke Yaman dengan pertanyaan:

”Dengan apa kamu putuskan perkara di antara mereka bila tidak ada di dalam Al Qur’an dan Hadits?”.

Pertanyaan ini bukan sekedar menguji main-main, melainkan sebuah pertanyaan yang mengandung pernyataan sekaligus. Intinya, Rasulullah SAW menegaskan bahwa akan ada banyak perkara yang secara eksplisit tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadits di dalam kehidupan ini.

Dan saat itulah dibutuhkan tindakan ijtihad, yang pada intinya tetap berpegang teguh kepada kedua sumber agama, Al Qur’an dan Hadits, namun dicarikan kesamaan ‘illat yang tepat dan mendekati kebenaran antara dalil-dalil syar’i dengan realitas yang ada.

Karena itulah tindakan menolak ijtihad sesungguhnya adalah tindakan mustahil, sebab teks-teks syariah itu akan terbata-bata ditinggal oleh perkembangan zaman. Ijtihad para ulama itulah yang membuat Al Qur’an dan Hadits menjadi serasa baru dan segar.

9. KRITIK HADITS

Pada dasarnya, meneliti keshahihan suatu hadits tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari ijtihad. Di masa lalu, para mujtahid sudah bisa dipastikan adalah juga seorang ahli hadits yang keahliannya termasuk meneliti dan mengkritik hadits. Dengan kata lain, studi kritik hadits (naqd hadits) adalah bagian dari ijtihad yang mutlak harus dilakukan oleh semua mujtahid dan ahli fiqih.

Seorang Abu Hanifah rahimahullah bukan saja ahli fiqih melainkan beliau juga seorang ahli di bidang kritik hadits. Beliau amat terkenal sangat ketat dalam menyeleksi hadits, sehingga bila beliau tidak berada pada posisi amat sangat yakin akan keshahihan hadits, tidak akan pernah dijadikan sebagai dasar dalam ijtihad.

Demikian juga Al-Imam Malik rahimahullah, meski beliau pendiri mazhab Maliki yang terkenal itu, namun pada hakikatnya beliau adalah seorang ahli hadits yang amat paten dan kampiun. Beliau sendiri punya kitab Al-Muwaththa’, yang di zamannya adalah kitab hadits paling populer dan paling tinggi kedudukannya.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga seorang ahli hadits, dimana beliau punya kitab karya di bidang ilmu hadits dan kritik hadits. Pengembaraan beliau ke hampir seluruh jagad dunia Islam membuktikan bahwa beliau selain ahli fiqih, juga seorang ahli hadits. Bahkan di usia 15 tahun beliau sudah menghafal luar kepala kitab Al-Muwaththa’ karya guru beliau, Al-Imam Malik.

Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim adalah dua orang ahli hadits di masa berikutnya, dimana kedua bermazhab Asy-Syafi’iyah.

Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahkan lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang ahli fiqih dalam beberap persolaan. Musnad Ahmad adalah salah satu nama yang akrab dikenal sebagai karya beliau sebagai ahli hadits.

Demikian beberapa landasan mengapa kita masih membutuhkan ijtihad yang dilakukan dengan benar, sesuai dengan kapasitas yang baku.

Sumber:
1. Al Qur'an
2. Hadits
3. Beberapa narasumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar