MARAKNYA tindak kejahatan
pemerkosaan dan pencabulan bagi pelaku pedofilia membuat pemerintah memutar
otak mencari jalan keluar.
Berdasarkan
hasil rapat koordinasi yang digelar di Kantor Kemenko PMK, Jl Medan Merdeka
Barat, Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2016). Para menteri merekomendasikan
pemberatan hukuman bagi pada pelaku dengan hukuman kebiri kimia dan
pengungkapan identitas.
Mengenai hal
tersebut, Presiden Joko Widodo meminta kementerian dan lembaga untuk bergerak
cepat dalam menangani kejahatan kekerasan seksual yang semakin marak belakangan
ini.
Dilansir Republika.co.id, Selasa (10/5/16), Jokowi meminta
supaya hukuman kebiri dapat segera diterapkan kepada para pelaku kejahatan
seksual.
Dari masalah di
atas, sebenarnya bagaimana islam memandang hukuman kebiri ini pada manusia? Dan
apakah islam mempunyai solusi untuk menangani pelaku tindakan pencabulan dan
kasus pemerkosaan?
Fakta Kebiri
Kebiri (al ikhsha`, castration) artinya adalah pemotongan dua buah
dzakar (al khushyatain, testis),
yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi
kebiri dapat berupa pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari
kebiri. Namun adakalanya kebiri berupa pemotongan testis dan penis sekaligus.
Kebiri bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 150; Al Mu’jamul
Wasith, 1/269; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al
Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat, hlm. 88).
Metode kebiri
secara garis besar ada dua macam, yaitu metode fisik dan metode hormonal
(injeksi). Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ yang memproduksi
testosteron, yaitu testis. Setelah testis dipotong dan dibuang melalui operasi,
sisanya diikat dan kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti
sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit gairah seks. Akibatnya
laki-laki akan kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Adapun metode
kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, tapi dengan
cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode
injeksi. Pertama, diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron.
Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah
hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri,
sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan
menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon testosteron
ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Pandangan Islam tentang Hukuman
Kebiri
Menjatuhkan
hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga)
alasan sebagai berikut:
Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia,
tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Tiadanya
khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar,
8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al
‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an,
5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus Salam, 3/110). (Lihat Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi
Al Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal
Insan, hlm. 90).
Dalam kitab Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama
mengenai haramnya kebiri sebagai berikut :
وقال
ابن حجر : هو نهي تحريم بلا خلاف في بني آدم
“Imam Ibnu Hajar Al Asqalani
berkata,’(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa
perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.’ (Al Mausu’ah
Al Fiqhiyyah, 19/121).
Dalam kitab Al
Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil Mathrudi berkata
:
أجمع
العلماء على أن خصاء بني آدم محرم ولا يجوز
“Para ulama telah sepakat bahwa
kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil Mathrudi, Al Ahkam
Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).
Dalil haramnya
kebiri pada manusia adalah hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan
larangan Rasulullah SAW terhadap kebiri. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia
berkata :
رد
رسول الله صلى الله عليه وسلم على عثمان بن مظعون التبتل، ولو أذن له لاختصينا
”Rasulullah SAW telah menolak
Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi
demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin
Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian,”
(HR Bukhari no 5073; Muslim no 3390).
Dari Ibnu Mas’ud RA, dia
berkata ;
كنا
نغزو مع النبي صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء، فقلنا: ألا نختصي؟ فنهانا عن
ذلك
”Dahulu kami pernah berperang
bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata
(kepada Nabi SAW),’Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW melarang
yang demikian itu.” (HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu
Hibban no 4141). (Taqiyuddin An Nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm.
164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119)
Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia
yang melakukan tindakan pencabulan dan pemerkosaan sesuai rincian fakta
perbuatannya, sehingga tidak boleh (haram) melaksanakan jenis hukuman di luar
ketentuan Syariah Islam itu. Dalil haramnya melaksanakan hukum-hukum non
syariah adalah firman Allah SWT :
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ
يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً
“Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata,” (QS Al Ahzab
[33]: 36).
Ayat tersebut
dengan jelas melarang muslim untuk membuat suatu ketentuan baru apabila sudah
ada ketentuan hukum yang tertentu dari Syariah Islam. Maka dari itu haram
hukumnya menerapkan hukum kebiri untuk pelaku pedofilia, karena Syariah Islam
sudah menetapkan rincian hukuman tertentu bagi pelaku pedofilia.
Ketiga, dalam hal metode kebiri yang digunakan adalah metode injeksi
kedua, yakni yang diinjeksikan adalah hormon estrogen, hukumnya juga haram dari
sisi lain, karena mengakibatkan laki-laki yang dikebiri memiliki ciri-ciri
fisik seperti perempuan. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai
perempuan atau sebaliknya perempuan menyerupai laki-laki. Dalil keharamannya
adalah hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa :
لعن
رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء، والمتشبهات من النساء
بالرجال
”Rasulullah SAW telah melaknat
laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai
laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).
Hadis ini
mengharamkan perbuatan laki-laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita
menyerupai laki-laki. Maka, metode kebiri dengan cara injeksi hormon estrogen
kepada laki-laki pelaku pedofilia haram hukummya, karena menjadi perantaraan
(wasilah) bagi laki-laki itu untuk menyerupai lawan jenisnya (perempuan).
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
الوسيلة
إلى الحرام محرمة
”Al-Wasilah ila al-haram
muharromah.” (Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga).
Berdasarkan 3
(tiga) alasan di atas, menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia
hukumnya adalah haram.
Solusi Islam Terhadap Pelaku
Tindakan Asusila dan Pemerkosaan
Syariah Islam
sudah menetapkan rincian hukuman tertentu bagi pelaku pedofilia yang melakukan
tindakan pencabulan dan pemerkosaan. Adapun rincian hukuman untuk pelaku
pedofilia sebagai berikut:
(1) jika yang
dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman
untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau
dicambuk seratus kali jika bukan muhshan.
(2) jika yang
dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah
hukuman mati, bukan yang lain.
(3) jika yang
dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai
pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).
Memang benar,
hukuman untuk pelaku pedofilia yang hanya melakukan pelecehan seksual (at
taharusy al jinsi) adalah hukuman ta’zir, yang dapat ditentukan sendiri jenis
dan kadarnya oleh hakim (qadhi). Misalnya dicambuk 5 kali cambukan, dipenjara
selama 4 tahun, dan sebagainya.
Pertanyaannya, bolehkah
hakim menjadikan kebiri sebagai hukuman ta’zir? Jawabannya, tidak boleh
(haram). Sebab meski hukuman ta’zir dapat dipilih jenis dan kadarnya oleh
hakim, tetapi disyaratkan hukuman ta’zir itu telah disahkan dan tidak dilarang
oleh nash-nash syariah, baik Al Qur`an maupun As Sunnah. Maka demikian pula,
menjatuhkan ta’zir berupa kebiri hukumnya haram, karena telah terdapat
hadits-hadits sahih yang melarang kebiri.
“Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata,”(QS Al Ahzab
[33]: 36).
Waallahu’alam []
Referensi: KH. M. Shiddiq
Al-Jawi, Aktivis DPC HTI Kraton, Yogyakarta & Dosen STEI Hamfara
Yogyakarta.
https://www.islampos.com/275448-275448/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar